Oleh: Yofa Hana Elmiska
Aku berdiri, berdiri menatap setiap inci keindahan alam yang semakin maju semakin sakit. Desiran sakit yang menjalar begitu dalam sangat amat menyakitkan ketika mata ini tak sengaja melihat mereka tumbang oleh bangsa manusia tak bermoral itu, mungkin raga ini juga sama tak bermoral seperti mereka. Tapi, aku tak merasakan bahwa aku sama halnya seperti mereka semua karena apa? Karena di saat mata ini melihat semua itu hati ini seakan tergores.
“Ya tuhan betapa egoisnya diri ini kepada makhluk-makhluk mu,” sesalnya.
Tuhan mereka pamit-pamit dengan rasa sakit yang penuh dengan darah, bahkan rasa sakitnya menyebar dengan begitu cepat seperti air mengalir tapi bukan air yang mengalir melainkan darah yang amat sakit. Tuhan engkau pasti tahu bagaimana rasa sakit yang mereka rasakan selama ini, untuk bertahan hidup pun mereka sangat susah. Bertahun-tahun aku hidup tapi aku tak tahu betapa masalah kecil pun sangat berdampak begitu amat besar buat makhluk pribumi, sekarang itu hanya kenangan bukan tempat di kenang.
Di saat kita datang untuk menyembuhkan di situlah luka yang akan kita rasakan, kritisnya mereka kita juga merasakan. Lantas buat apa menyesal kalau apa yang kita ingin jaga sudah mati dan pamit meninggalkan bekas goresan panjang seperti panah. Tuhan ku titip rindu dan rasa sakit beserta kesadaran para makhluk jagat raya yang sadis sesama makhluk mu.
“Kamu tahu aku hidup di sini dengan penuh kewaspadaan dan kewarasan, tapi kamu dengan satu gerakan mampu menumbangkan ku,” ucap Pohjagam.
“Bahkan aku jadi tempat penampungan kehidupan mu, tapi dengan rasa tak bersalah kalian membunuh ku,” Tutur Pohjagam dengan sayu.