Scroll kebawah untuk baca artikel
Berita UtamaRubrik Cipok

Cerita Pendek : Bayar 500 Tak Toblos

×

Cerita Pendek : Bayar 500 Tak Toblos

Sebarkan artikel ini
Simulasi pencoblosan. Foto : Istimewa

“begini kang, untuk coblosan tahun ini saya punya proposal, yakni yang saya ajukan adalah lima ratus ribu, atau tidak noblos sama sekali” Tarmin menjelaskan isi pikirannya. Seperti kurang jelas, Mukhlis mengerenyitkan dahinya dan bertanya “maksudnya gimana kang?”.Memposisikan duduk lebih dekat dengan Mukhlis, Tarmin menjelaskan lagi “hari ini, untuk menoblos, saya tidak menerima lima puluh ribu rupiah kang. Semua sudah tau jika sekarang apapun serba naik, kebutuhan pokok naik, biaya hidup juga naik. Dua ratus masih saya pertimbangkan, hehe.. .” tertawa kecil Tarmin mengakhiri opininya.

Dengan menarik nafas agak dalam Mukhlis bersiap-siap untuk mencoba merubah pandangan Tarmin, bahwa politik dan kekuasaan jangan dikotori oleh uang. “Pemimpin yang tulus tidak maju dengan modal besar. Jika rakyat mau disogok untuk memilih pemimpin, maka sebenarnya rakyat sendirilah yang menciptakan pejabat yang korup” Mukhlis mencoba menjelaskan. “pendapate sampean ini seperti mensahihkan praktek suap di tengah masyarakat kang?” Mukhlis berusaha menjelaskan lagi

Tanpa tedeng aling-aling Tarmin berkata “saya paham betul, bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dipilih dari Rahim rakyat. Pemimpin yang ikhlas dan betu-betul memikirkan nasib rakyatnya”. Mata Mukhlis terbelalak, tidak menyangka kalimat tersebut keluar dari mulut Tarmin. “nah.. itu kamu tahu, ya berarti kamu harus mendukung dia, dialah orangnya.

Sosok pemimpin yang amanah dan peduli, tidak menggunakan jalur Money Politic lho kang Tarmin” Mukhlis menjawab pernyataan Tarmin, jari telunjuknya tegas mengarah ke baliho besar itu lagi. Mukhlis memang pantang menyerah. Namun Tarmin juga masih perlu menyampaikan gagasanya lagi, tangannya mengusap usap leher, matanya melirik bolak balik kekiri dan ke kanan. Sudah hampir setengah jam berlalu mengobrolkan tentang politik dan nasibnya, tak kunjung juga Mukhlis menawarkan Kopi. Bungkus rokok putih harga menengah keatas masih di kantong kemeja Mukhlis. Tarmin hanya bisa memantaunya saja sambil membasahi bibirnya yang mulai mengering.

“sekarang saya mau tanya sama sampean kang” tarmin masih dengan tekadnya mendapatkan subsidi lima ratus ribu rupiah sebagai upah nyoblos. Mukhlis menjawab sedikit gelisah, khawatir pertanyaannya sulit dijawab dan terlalu filosofis “apa kang?” singkatnya. Kemudian Tarmin melanjutkan ujarannya “apakah jika si caleg itu tidak Money politik, Lantas menjadi jaminan dia terbebas dari kongkalikong untuk membuat kebijakan yang tidak pro rakyat ? Hemat saya ya kang. Dia juga akan masuk lingkaran kemunafikan yang terjadi di gedung DPR sana. Mereka mendapatkan proyek-proyek besar. Sedangkan kita disini hanya tepuk tangan merayakan keberhasilanya mendapatkan kursi jabatan. Rakyat dapat lima ratus ribu atau tidak dapat lima ratus ribu. Tabiat mereka yang di atas ya seperti itu”. Mukhlis melongo mendengar penjelasan tarmin. “seperti itu apa kang?” tanya Mukhlis menanyakan maksudnya. Tarmin hanya menjawab “ya seperti itu?” demikian saja Tarmin menjawab sekenanya karena enggan menjelaskan lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.