SEJARAH, korantegal.com – Di Bandjaran jalan yang kami lalui terbagi menjadi tiga cabang. Di sebelah kanan menuju Oedjoeng Rusi, ibu kota kabupaten Krangdon, hanya sepelemparan batu dari Bandjaran, dan dihubungkan dengan jalan sepanjang 31 tiang yang mengarah ke selatan ke Slawi, desa utama di distrik Doekoe Wringin.
Terletak di antara pabrik gula Kemanglen di utara dan Doekoe Wringin di selatan, keduanya merupakan perusahaan yang menempati tempat terhormat dalam sejarah budaya gula di Jawa karena manajemen yang baik dan hasil yang baik.
Di rumah pedesaan yang indah di Kemanglen, dikelilingi oleh dataran subur, yang segera berbelok ke selatan menjadi tanjung Slamat, kita dapat melihat pemandangan gunung berapi raksasa ini tanpa halangan, yang tampak seperti kerucut besar di tenggara-tenggara bagian atasnya terpotong miring dan lerengnya curam di sebelah timur, lebih landai di sisi barat.
Dengan ketinggian 3.427 meter, ini adalah puncak gunung tertinggi di Jawa setelah Smèroe, dan karena alasan ini dan karena ukurannya yang menakjubkan, juga sering disebut Goenoeng Gedé atau Gunung Besar.
Di sebelah kiri, ada jalan menuju dari Bandjaran hingga Pangka dan selanjutnya yang akan segera kita kenali lebih dekat. Kini kita ikuti jalan lurus melintasi Ketapang menuju Lebaksioe yang berjarak delapan tiang dari Bandjaran.
Dari KETAPANG, pos 31 melewati Bandjaran, lintas jalan kembali mengarah, tepat melewati pabrik gula Kemanglen yang dapat ditempuh dalam beberapa menit ke Djati Barang’ yang sudah terkenal, belok kiri melewati Bogares, tempat berakhirnya jalan Pangka, ke Djati Negärä, desa utama di kecamatan Gantoengan, yang akan kita lewati nanti.
Penulis Johannes Veth (Profesor Ethnologi Hindia Belanda di Leiden sejak tahun 1864 hingga 1876)
Rillis Buku 1882.