BREBES, korantegal.com – Implementasi transaksi pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis pertalite dan solar menggunakan aplikasi MyPertamina bakal berlaku di seluruh Pulau Jawa. Pelaksanaannya akan dilakukan pada 1 September 2022.
Namun rencana dari perusahaan BUMN itu mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat. Termasuk anggota Komisi VII DPRRI, Paramitha Widya Kusuma. Paramitha menolak penggunaan aplikasi MyPertamina untuk pembelian BBM subsidi.
“Pada dasarnya saya tidak setuju dengan segala sesuatu yang membuat rakyat kecil ribet dan susah untuk mendapatkan apa yang sudah menjadi hak bagi mereka. Apalagi menggunakan aplikasi seperti itu pasti banyak yang tidak paham,” kata Mbak Mitha, sapaan akrabnya, Kamis (30/6/2022).
Menurut Mitha, akar permasalahan dari penggunaan aplikasi ini ada dua. Pertama subsidi tidak tepat sasaran. BBM bersubsidi bakal tidak sampai ke yang berhak. Padahal, sebelumnya juga sudah ada program digitalisasi di lebih dari 5.500 SPBU, namun tidak berjalan mulus.
“Lalu apa hasilnya digitalisasi SPBU itu. Berarti kan selama ini digitaliasi tidak benar-benar dijalankan dengan baik. Padahal digitalisasi itu sudah memakan dana triliyunan,” ungkap Mitha.
Ketimbang menggunakan aplikasi baru, lanjut Mitha, Pertamina harusnya mengoptimalkan penggunaan digitalisasi yang sudah dipasang pada masa Direktur Utama Patra Niaga dijabat oleh Mas’ud Khamid.
“Tujuan digitalisasi itu kan sudah jelas agar Pertamina punya data akurat dan transparan. Kalau saja penerapan digitalisasi itu dilakukan dengan baik, maka sebenarnya data penjualan Pertalite, Solar, dan Pertamax sudah ada. Jadi tidak perlu lagi pakai aplikasi baru untuk beli Pertalite,” tambahnya.
Akar masalah yang kedua, tutur Mitha, adalah soal pengawasan. Soal pengawasan, yang bertanggung jawab adalah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (disingkat BPH Migas) dan bukan Pertamina.
Menurut Mitha, Pertamina hanya menjalankan penugasan untuk mengadakan dan menyalurkan BBM bersubsidi hingga ke daerah terpencil. Mitha pun menuding bahwa selama ini BPH Migas sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan, tidak menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
“Yang memutuskan kuota BBM untuk tiap daerah itu kan BPH Migas. Ketika mereka sudah bagikan kuotanya, kenapa mereka tidak bisa mengawasi? Sejatinya mereka harus bertugas sesuai tupoksinya. Dari setiap liter BBM yang dibeli konsumen, itu ada fee yang didapat oleh BPH Migas,” tutur Mitha.
“Berarti selama ini masyarakat selalu bayar fee ke BPH Migas dari tiap liter pembelian BBM tapi kok BPH Migas enak sekali kerjanya, karena fee yang kita bayarkan sia-sia,” sambungnya.
Mitha pun meminta Pertamina untuk memaksimalkan pemanfaatan digitalisasi. Sudah lebih dari 90 persen SPBU yang dipasangkan alat digitaliasasi di seluruh Indonesia, tapi tidak dijalankan dengan baik.
“Jangankan di Jakarta, di Jateng, Jatim, Sumatera itu banyak temuan digitalisasi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Itu saja dibetulkan pelaksanaannya,” ucapnya.
Kemudian, Mitha juga meminta BPH Migas bekerja sesuai dengan tupoksi. Jika aplikasi MyPertamina gagal dalam menyalurkan BBM bersubsidi kepada yang berhak, pasti yang diserang nanti Pertamina dan Patra Niaga, dan bukan BPH Migas.
“Kalau ada kelangkaan juga, pasti yang dibully Pertamina. Padahal BPH Migas yang bertanggung jawab sesuai dengan Undang-Undang,” tegasnya.
Sebagai tambahan informasi, Per tanggal 1 Juli mendatang, akan dilakukan uji coba pendaftaran transaksi Pertalite dan Solar bagi pengguna kendaraan roda empat di MyPertamina. Kebijakan ini akan diberlakukan terlebih dahulu di 11 daerah yang tersebar di 5 provinsi di Indonesia. (Harviyanto)