TEGAL, korantegal.com – Pemkot Tegal memberlakukan isolasi wilayah dengan cara menutup akses jalan antara Kota Tegal dengan Kabupaten Tegal menggunakan movable concrete barrier (MBC) beton seberat masing-masing 6 kuintal. Blokade jalan untuk mencegah penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) di Kota Tegal ini mulai dipasang pada Minggu (29/3/2020). Rencananya, blokade akan dibuka lagi pada 30 Juli 2020 mendatang. Kebijakan ini menuai sanggahan dari berbagai pihak. Salah satunya Anggota Komisi IX DPR RI Dewi Aryani. Dia mengatakan begini.
“Mestinya jangan dipasang beton dulu. Karena PP (Peraturan Pemerintah) soal karantina wilayah belum ada. Tunggu sampai PP itu ada. Wali Kota harus membuka dan menggeser lagi pagar beton itu.”
Dewi juga menyarankan, sebaiknya Pemkot Tegal melakukan isolasi lebih dulu di lokasi permukiman yang terdapat pasien positif virus corona.
“Caranya, melakukan tracing (melacak) apakah keluarganya sudah kontak dengan pasien atau belum,” sambungnya.
Anggota Komisi IX Fraksi PDI Perjuangan ini juga mengingatkan, Kota Tegal bukan negara sendiri dan harus patuh kepada pemerintah pusat. Ada konstitusi yang akan mengatur semuanya.
“Percayalah pemerintah pusat akan melakukan yang terbaik untuk seluruh wilayah,” ucapnya.
Menurutnya, kekhawatiran bahayanya covid-19 ini tidak hanya dirasakan Wali Kota Tegal, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu, semua harus bahu-membahu gotong-royong dan memberikan kewenangan penuh kepada Doni Monardo selaku Ketua Gugus Covid-19 Nasional untuk menentukan langkah yang sesuai aturan. Semua pihak harus menahan diri dan melakukan physical distancing. Tim satgas monitoring juga harus melakukan patroli rutin dan maksimal. Jika ada warga yang tidak mengindahkan intruksi pemerintah pusat, aparat harus memberikan tindakan tegas. Misal ada warga yang berkumpul, hajatan dan acara yang menimbulkan kerumunan massa, supaya ditegur.
“Saya yakin PP segera terbit dan bisa menjadi landasan yang tepat untuk semua wilayah dalam menentukan langkah karantina wilayahnya masing-masing dengan tiga proses yang harus dilakukan. Antara lain tracing-clustering- containing (karantina),” bebernya.
Upaya melawan corona, saran Dewi, harus ada pelibatan dari semua lini. Mulai tingkat desa atau kelurahan hingga aparat. Untuk itu, Dewi mendesak pemerintah pusat agar segera menerbitkan PP. Sehingga daerah memiliki payung hukum yang sesuai dengan kondisi saat ini.
“PP harus segera diterbitkan sebelum terlambat. Karena korbannya sudah banyak. Termasuk ekonomi, profesi dan masyarakat menjadi korbannya,” ujarnya.
Dewi menegaskan, di Indonesia tidak ada istilah lockdown. Persamaan yang paling mendekati adalah karantina. Regulasi itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karantina kesehatan ini merupakan upaya dalam mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan masyarakat.
“Itulah bunyi Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2018,” cetusnya.
Sedangkan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, lanjut Dewi, menyebutkan
bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Sebagai timbal baliknya, pemerintah wajib memberi makan tiga kali sehari kepada warganya. Makanan itu dikirim oleh anggota TNI/Polri ke masing-masing rumah sesuai dengan jumlah warganya.
“Siapa yang berkewajiban memberi makan ratusan ribu orang itu? Pemda setempat,” imbuhnya. (jeki)