Saudara Horstman membiarkan orang-orang itu pergi dan berjalan dengan tenang ke atas dan ke bawah. Setelah sekian lama tertunda, koper kulit ringan saya diikat ke tiang pembawa dan diambil oleh kuli gratis; ada pihak ketiga yang mengurus keranjang makanan dan kameraku, diikat erat dalam satu setelan kecil dengan koper Bro. H.; Moesah mengambil tasku dan Leonard mengambil tas Bro. H. dengan teropong saya; dan akhirnya semuanya diatur, sehingga kami bisa mulai berbaris sekitar jam 9.
Namun, di dekat SLAWI, kami kembali mengalami penundaan. Tempatnya merupakan kecamatan yang cukup luas, tempat kedudukan seorang Wedono, di wilayah Kecamatan Doekochwringin, Dinas Pengendalian pusat Protjot, dan pasar besar baru saja diadakan.
Berkumpullah banyak orang, baik orang Jawa maupun Tionghoa. Kami melewati sebuah pegadaian, saudara kembar tak terpisahkan dari Pusat jual beli opium, keduanya berada di sini, di tengah-tengah kawasan gula Kemangklen banyak bisnis. Di passar, Bro. H. membeli ikat pinggang untuk pelananya, yang putus saat pertama kali dipakai, sehingga harus dibeli lagi, yang memakan waktu lama.
Saya mengemudi perlahan-lahan di sepanjang jalan utama yang ramai, terbebani oleh kenyataan bahwa, meskipun Misi kami telah ada di Tegal selama hampir 25 tahun, dan menelan biaya setidaknya 150.000 hingga 60.000, di sini, di pusat distrik yang padat penduduk, hanya beberapa mil dari Mocaratoewa.
Baca Juga : Jatuhnya Resident Tegal ke Pihak Inggris Tahun 1809
Di luar Slawi, Horstman menunjukkan kepadaku sebuah rumah yang sehubungan dengan Misi, menimbulkan perasaan sedih yang tak kalah pentingnya. Karena di rumah itu tempat si Mirjam, salah satu anak angkat Misionaris, tinggal sebagai njai bersama dokter-ahli kimia di pabrik gula tetangganya itu Kagok.