Oleh : Soedanto Ponco Soelarso
SEJARAH, korantegal.com – Dieng tahun 1850 lapisan kabut yang menempel di atasnya pada malam hari menjadi lebih tebal, padat, membentuk satu kesatuan yang lebih terhubung. Ketebalan lapisan di dataran tinggi Dieng ini bervariasi antara 20 hingga 100 kaki.
Jika angin benar-benar tenang pada malam yang sangat cerah di bulan-bulan terkering sepanjang tahun dari Juli hingga September, suhu turun drastis pada paruh kedua malam, ya, kadang sudah di malam hari, beberapa jam setelah matahari terbenam, agar lapisan kabut menghilang.
Jika pengelana keluar dari gubuknya keesokan paginya, sebelum matahari terbit, ia akan menemukan pemandangan yang sangat luar biasa di Pulau Jawa. Seluruh dataran tinggi kemudian tampak putih bersinar, tertutup salju; embun membeku di tanah, semua tanaman herba yang membeku hamparan hijau dataran tinggi, terutama rumput, tertutup lapisan es dengan lapisan es.
Ketika terjadi monsun barat, hal ini jarang terjadi, karena bahkan pada hari-hari ketika angin barat laut tidak terasa hingga ketinggian dataran tinggi, penyebab lain yang menyebabkan pendinginan di atas dasar dataran tinggi, turun di bawah nol (0,5° R.); termometer yang berada di bawah atap rumah menunjukkan 1,5° R; air danau mempunyai derajat panas sebesar 5,7° R., dan suhu atmosfer pada siang hari sebelumnya adalah 14,0° R.
Karya “Franz Wilhelm Junghuhn” Geolog Jerman dalam bukunya yang berjudul “Ditzelfde tijdschrift werd ins- gelijks het begin mijner reis door Oost-Java, in 1844 dan rillis tahun 1850.